1. Sejarah
Perayaan Ulang Tahun
Ulang tahun
atau Milad (dalam bahasa arab) pertama kali dimulai di Eropa.
Dimulai dengan ketakutan akan adanya roh jahat yang akan datang pada saat
seseorang berulang tahun, untuk menjaganya dari hal-hal yang jahat, teman-teman
dan keluarga diundang datang saat sesorang berulang tahun untuk memberikan do’a
serta pengharapan yang baik bagi yang berulang tahun. Memberikan kado juga
dipercaya dapat memberikan rasa gembira bagi orang yang berulang tahun sehingga
dapat mengusir roh-roh jahat tersebut.
Merayakan ulang tahun
merupakan sejarah lama. Orang-orang jaman dahulu tidak mengetahui dengan pasti
hari kelahiran mereka, karena waktu itu mereka menggunakan tanda waktu dari pergantian
bulan dan musim. Sejalan dengan peradaban manusia, diciptakanlah kalender.
Kalender memudahkan manusia untuk mengingat dan merayakan hal-hal penting
setiap tahunnya, dan ulang tahun merupakan salah satunya.
Banyak simbol-simbol
yang diasosiasikan atau berhubungan dengan ulang tahun sejak ratusan tahun
lalu. Ada sedikit penjelasan mengapa perayaan ulang tahun harus menggunakan
kue. Salah satu cerita mengatakan, karena waktu dulu bangsa Yunani menggunakan
kue untuk persembahan ke kuil dewi bulan, Artemis. Mereka
menggunakan kue berbentuk bulat yang merepresentasikan bulan purnama. Cerita
lainnya tentang kue ulang tahun yang bermula di Jerman yang disebut sebagai “Geburtstagorten”
adalah salah satu tipe kue ulang tahun yang biasa digunakan saat ulang tahun.
Kue ini adalah kue dengan beberapa layer yang rasanya lebih manis dari kue
berbahan roti.
Simbol lain yang
selalu menyertai kue ulang tahun adalah penggunaan lilin ulang tahun di atas
kue. Orang Yunani yang mempersembahkan kue mereka ke dewi Artemis juga
meletakan lilin-lilin di atasnya karena membuat kue tersebut terlihat terang
menyala sepeti bulan (gibbons, 1986). Orang Jerman terkenal sebagai
orang yang ahli membuat lilin dan juga mulai membuat lilin-lilin kecil untuk
kue mereka. Beberapa orang mengatakan bahwa lilin diletakan dengan alasan
keagamaan/religi. Beberapa orang jerman meletakan lilin besar di tengah-tengah
kue mereka untuk menandakan “Terangnya Kehidupan” (Corwin,1986). Yang
lainnya percaya bahwa asap dari lilin tersebut akan membawa pengharapan mereka
ke surga.
Saat ini banyak orang
hanya mengucapkan pengharapan di dalam hati sambil meniup lilin. Mereka percaya
bahwa meniup semua lilin yang ada dalam satu hembusan akan membawa nasib baik.
Pesta ulang tahun biasanya diadakan supaya orang yang berulang tahun dapat
meniup lilinnya.
Ada juga mitos yang
mengatakan bahwa ketika kita memakan kata-kata yang ada di atas kue, kata-kata
tersebut akan menjadi kenyataan. Jadi dengan memakan “Happy Birthday” akan
membawa kebahagiaan.
Pada pesta ulang
tahun pertama kalinya, pesta diadakan karena orang menduga akan adanya roh
jahat yang mengganggu mereka. Jadi mereka mengundang teman dan kerabat untuk
menghadiri pesta ulang tahun mereka sehingga roh-roh jahat tidak jadi
mengganggu yang berulang tahun. Dalam pesta-pesta selanjutnya banyak dari
keluarga dan teman yang membawa kado atau bunga untuk yang berulang tahun.
Saat ini kebanyakan
pesta ulang tahun diadakan untuk bersenang-senang. Jika orang yang di undang
tidak bisa menghadiri pesta ulang tahun, biasanya mereka akan mengirimkan kartu
ucapan selamat ulang tahun. Tradisi mengirimkan kartu ucapan dimulai di Inggris
sekitar 100 tahun yang lalu (Motomora, 1989). Pada awal mulanya hanya
raja saja yang dirayakan ulang tahunnya (mungkin disinilah awal mulanya tradisi
topi ulang tahun bermula). Seiring waktu berlalu, anak-anak juga di
ikutsertakan dalam pesta ulang tahun. Pesta ulang tahun untuk anak-anak pertama
kali terjadi di Jerman dan dinamakan “kinderfeste”. Tetapi saat
ini, pesta ulang tahun bisa diadakan oleh siapa saja, terutama yang punya uang…
Nah kira-kira
begitulah sejarahnya perayaan ulang tahun untuk pertama kalinya, percaya gak
percaya, tapi tetap aja enggak ada salahnyakan mengucapkan do’a di hari ulang
tahun kita.
Perlukah Umat Islam
Merayakan Ulang Tahun
Pembahasan boleh
tidaknya masalah ulang tahun seseorang atau organisasi memang tidak disinggung
secara langsung dalam dalil-dalil syar‘i. Tidak ada ayat Al-Quran atau hadits
Nabawi yang memerintahkan kita untuk merayakan ulang tahun, sebagaimana
sebaliknya, juga tidak pernah ada larangan yang bersifat langsung untuk
melarangnya. Sehingga umumnya masalah ini merupakan hasil ijtihad yang sangat
erat kaitannya dengan kondisi yang ada pada suatu tempat dan waktu. Artinya,
bisa saja para ulama untuk suatu masa dan wilayah tertentu memandang bahwa
bentuk perayaan ini lebih banyak mudharat dari manfaatnya. Namun sebalik, bisa
saja pendapat ulama lainnya tidak demkian, bahkan mungkin ada hal-hal positif
yang bisa diambil dengan meminimalisir dapak negatifnya.
Mengapa demikian?
Karena memang tidak didapat nash yang secara sharih melarang atau
membolehkannya. Tidak terdapat dalam sunnah apalagi dalam Al-Quran. Sehingga
dalam satu majelis yang di dalamnya duduk para ulama, perbedaan sudut pandang
pun bisa saja terjadi, tergantung dari sudut pandang mana seorang melihatnya.
1. Pendapat
yang Mengharamkan
Sebagian ulama yang
berfatwa mengharamkan perayaan ulang tahun, berijtihad dari dalil-dalil yang
bersifat umum. Misalnya, dalil-dalil yang melarang umat Islam meniru-niru
perbuatan orang-orang kafir.
Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW: من تشبه بقوم فهو منهم
Siapa yang menyerupai
suatu kaum, maka termasuk mereka (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Kiranya para ulama
itu memandang bahwa perayaan ulang tahun itu identik dengan perilaku
orang-orang kafir. Sehingga mereka mengharamkan umat Islam untuk merayakannya
secara ikut-ikutan.Selain itu, oleh sebagian ulama, seringkali acara ulang
tahun disertai dengan banyak kemaksiatan. Seperti minuman keras, pesta musik,
joget, dansa, campur baur laki-laki dan wanita. Bahkan banyak yang sampai
meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya. Seringkali juga pesta-pesta itu
sampai melupakan niat utama, tergantikan dengan semangat ingin pamer dan
menonjolkan kekayaan. Sehingga menimbulkan sifat riya’ dan sum’ah pada
penyelenggaranya.
2. Yang
Cenderung Membolehkan
Adapun sebagian
lainnya dari para ulama, mereka cenderung membolehkan ulang tahun. Dengan
landasan dasar bahwa ulang tahun bukanlah ibadah ritual. Sehingga selama tidak
ada larangannya yang secara langsung disebutkan di dalam nash Quran atau
sunnah, hukum asalnya adalah boleh. Sesuai dengan kaidah “al-ashlu fil
asy-yaa’i al-ibahah.” Bahwa kaidah dasar dari masalah muamalah adalah
kebolehan, selama tidak ada nash yang secara tegas melarangnya.
Adapun alasan
peniruan orang kafir, dijawab dengan argumen bahwa tidak semua yang dilakukan
oleh orang kafir haram dikerjakan. Hanya yang terkait dengan peribadatan saja
yang haram, adapun yang terkait dengan muamalah, selama tidak ada nash yang
langsung melarangnya, hukumnya tidak apa-apa bila kebetulan terjadi kesamaan.
Misalnya, kebiasaan pesta pasca panen di suatu negeri yang masih kafir. Apakah
bila ada kebiasaan yang sama di suatu negeri muslim, dianggap sebagai bentuk
peniruan? Tentu tidak, sebab hal itu dipandang sebagai ‘urf yang lazim, tidak
ada kaitannya dengan wilayah kekufuran atau kebatilan. Para ulama dari kelompok
ini cenderung menetapkan ‘illat haramnya peniruan pada orang kafir berdasarkan
titik keharamannya. Bukan semata-mata dilakukan oleh mereka. Misalnya,
kebiasaan orang kafir memberikan sesaji kepada gunung yang mau meletus, maka
hukumnya haram bagi muslimin untuk melakukannya. Adapun bila ada nash secara
langsung dari Rasulullah SAW untuk tidak meniru suatu perbuatan tertentu, maka
wajib bagi tiap muslim untuk mengikuti perintah beliau. Misalnya, larangan
Rasulullah SAW bagi umat Islam untuk mencukur jenggot dan memelihara kumis,
sebab dianggap menyerupai orang kafir. Maka larangan itu tetap berlaku, meski
pun orang kafir sendiri telah merubah kebiasaannya.
Beberapa Pertimbangan
Bila kita ingin
meletakkan hukum merayakan ulang tahun, kita harus membahas dari tujuan
dan manfaat yang akan didapat. Apakah ada di antara tujuan yang ingin
dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan
uang? Atau sekedar ikut-ikutan tradisi? Adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu
dan amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau lainnya? Pertimbangan
lain adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa yang
dilanggar?
Bila ternyata semua
jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjadi tradisi, apakah tidak
akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti
ini harus dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringatan hari
besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya. Jangan sampai
dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah
sesuatu yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan
makna?
Sumber: Ahmad Sarwat,
Lc.
Dari www.eramuslim.com